Album Photo

Sabtu, 11 Juli 2015

Mengapa hati ini cenderung ingin menjadi psikiater?


Dari berbagai pertanyaan yang terlontar disudut kehidupanku, inilah untaian pertanyaan favorit yang dibungkus dengan dinamika yang pas dan bahasa nan santun. Kenapa memilih Psikiater? Bukankah terlanjur nyeplung ke Ekonomi? Pertanyaan yang sering banget temen-temen terdekat tanyain, sampai ada yang membantu menjawab gini : ya mungkin aja punya trauma khusus. Ya mungkin aja dia ingin lebih mengenal lingkungan tempatnya berpijak. Ya mungkin aja dia tertarik ilmu sosial dan menerapkannya dalam masyarakat sebagai profesi. Ya mungkin aja passion dia lebih kearah situ. Dan segala macam bentuk jawaban yang mereka awali dengan frasa “YA MUNGKIN AJA”. Pada dasarnya memang bener sih. Ini bukanlah pertanyaan retoris. Mereka membutuhkan jawaban. Analogi lebih tepatnya. Disaat mereka menerka nerka mengenai “Apasih alasanya?”, entah mengapa aku tanya balik ke hati yang paling dalam. “Emang tujuan aku jadi psikiater itu gitu ya?” dan makin menyentuhnya sebuah pertanyaan makin ekstrim pula takaran logisku untuk menjawabnya. 

So? Kamu tau gak cita-cita Presiden Indonesia sebelum mereka sah menjadi penduduk Istana Merdeka itu apa? Atau Spiderman sebelum digigit laba-laba dia ingin jadi apa? Serempak bilang enggak. Iya itu analogi simplenya sih. Kadang cita-cita yang kita impikan, ditulis di kertas dipajang dikamar dipandang setiap malempun belum tentu itu terwujud meski kamu sudah berupaya semaksimal mungkin. Terkadang cita-cita itu hadir seiring waktu dan passion kamu. Sejatinya kemampuan dan bakat tidak hadir dalam satu waktu. Melaikan terfokus jika kamu melakukan aktivitas yang bikin kamu nyaman, enjoy, your style, itulah yang bakal jadiin kamu sebuah cita-cita. Inilah cita-cita yang sesungguhnya. Sesuai apa yang kamu mau bukan karena tuntutan hidup dan bukan karena tuntutan orang tua. Kalau ada yang mengatakan gini : Restu orang tua itu mujarab. Nah aku setuju tuh tapi inget guys kita punya kemampuan dan keterbatasan yang hanya diketahui oleh diri kita sendiri. Setinggi apapun cita cita kamu yang diharapkan orang tuamu, kalau kamu gabisa, gatahan, dan ingin banting kepala karena gakuat, lebih baik beralih deh ke passion kamu. Hidup bukan untuk memaksakan apa yang gabisa kamu lakuin.

Jadi intinya Psikiater adalah passionku. Dan Perbankan Syariah adalah jurusan yang aku pilih karena sebuah tuntutan (antara hidup dan orang tua). Next, alasanku. Gini, kalau temen-teman bilang aku trauma dengan sesuatu, ingin peka terhadap lingkungan, tertarik ilmu sosial, sehingga aku ingin sekali jadi psikiater itu benar adanya. Aku merasakan sesuatu yang berbeda disaat aku menganalisis seseorang yang jiwanya terganggu. Seakan radar otakku gerak-gerak loading gitu deh. Disaat orang lain berlalu lalang aku sempet analisis kepribadian mereka dari atas sampai bawah (antara analisis dan su’udzon beda lho ya). Kurang kerjaan sih kedengarannya. Tapi teman jangan salah, This is my passion. Aku menemukan sesuatu didalamnya. Aku merasakan sensasi berbeda disaat menganalisis suatu objek yang tidak aku temukan disaat membuat neraca lajur, mengkaji dan membaca terkait Perbankkan dan hal hal yang berbau Ekonomi Lainnya. Dan aku mencintai apapun yang aku lakukan meskipun jalurku jelas-jelas bertentangan. Aku hanya ingin berkontribusi serta menolong terhadap sesama manusia sesuai kemampuan yang menjadi bakatku nan kuasah tiap hari dan bukanlah bertopeng ramah dan berpura pura menikmati apa yang aku lakukan.

0 komentar:

Posting Komentar